“Menerima dan menghadapi kanker dengan lapang dada”
Landriany berasal dari Indonesia (Surabaya), tahun ini berusia 50 tahun. Pada tahun 2014 ia didiagnosa kanker ovarium. Metode operasi dan kemoterapi membuat rambutnya rontok, dokter di Indonesia menyatakan “penyakitnya sudah terlalu parah” dan menyerah untuk melakukan operasi, namun sebagai umat kristiani saya menguatkan diri : “Jika tidak dapat diubah, maka saya hanya bisa menerima kanker, menjalani pengobatan dengan lapang dada dan optimis bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik.”
Mungkin Tuhan telah mendengar doanya, rambutnya yang rontok kini sudah mulai tumbuh kembali, kondisi penyakitnya sudah terkendali dengan baik, kondisi psikologisnya juga sangat baik, sama sekali tidak terlihat seperti seorang pasien kanker. Di depan kamera, pejuang kanker ini sangat tenang menceritakan pengalamannya melawan kanker.
Metode operasi + kemoterapi, pengobatan yang memberikan penderitaan yang tak tertahankan
Landriany mengungkapkan bahwa diagnosa kanker ovarium bukanlah tanpa peringatan. Pada tahun 1998, ia sudah merasa keluhan tidak normal, setiap bulan ia pasti merasakan nyeri saat haid. Setelah melakukan pemeriksaan di rumah sakit setempat, ia menjalani pengangkatan ovarium, keluhan nyerinya mulai membaik dan kondisi tubuhnya kembali normal. Ia berpikir semua masalah sudah selesai, namun ternyata ini baru permulaan.
Pada tahun 2014, ia mulai mengalami keluhan pendarahan dan nyeri parah di bagian ovarium, rumah sakit setempat mendiagnosanya kanker ovarium stadium 2 dengan ukuran tumor sekitar 6 cm. Berdasarkan rekomendasi dokter, ia pun menjalani tindakan operasi, tumor pada ovarium mulai terkendali namun tidak berlangsung lama. Pada tahun 2015, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tumor pada ususnya, dokter di rumah sakit setempat menyatakan kondisinya cukup serius dan menyerah mengoperasinya.
Kemudian mimpi buruk pun dimulai, ia menjalani 3 kali kemoterapi berturut-turut, tidak hanya kondisinya yang menjadi tidak terkontrol, setiap hari semakin memburuk, ukuran tumor yang tadinya 6 cm menyusut menjadi 11 cm, dari stadium 2 berubah menjadi stadium 4. Ia mengalami kesulitan buang air besar dan kecil, rasa sakit semakin intens. Efek samping dari kemoterapi juga semakin signifikan: sering mual dan muntah, awalnya rambutnya hitam lebat, namun mulai rontok secara bertahap.
Terapi minimal invasif membuat saya melihat harapan baru
Secara kebetulan Landriany menemukan informasi tentang Modern Cancer Hospital Guangzhou di koran, ia mulai mencari tahu via internet mengenai pengobatan kanker ovarium terapi minimal invasif, tanpa operasi dan kemoterapi atau pengobatan tradisional yang menyiksanya. Melalui kantor perwakilan di Surabaya, ia mengetahui kalau ternyata banyak pasien dengan kondisi yang lebih parah dari dirinya mendapatkan hasil pengobatan yang baik di sini.
Saat itu tanpa pikir panjang, pada 17 November 2015, Landriany memegang secercah harapan terakhir dan datang ke Modern Cancer Hospital Guangzhou.
Terapi minimal invasif Intervensi + Microwave Ablation meringankan pengobatan kanker ovarium
Berdasarkan kondisi Landriany, tim MDT Modern Cancer Hospital Guangzhou dengan cepat memutuskan opsi metode pengobatan minimal invasif: terapi intervensi + microwave ablation.
Dokter penanggung jawab Landriany menjelaskan bahwa proses Intervensi dilakukan tanpa operasi atau pembedahan yang meninggalkan bekas luka, dibutuhkan lubang kecil atau kateter yang memang sudah ada pada tubuh pasien yang hanya berukuran beberapa mm di permukaan kulit atau pembuluh darah. Dipandu dengan alat pemeriksaan pencitraan medis, dokter mengobati bagian lesi, metode pengobatan ini memiliki beberapa kelebihan seperti minim luka, bertarget, minim efek samping, serta hasil yang signifikan. Metode-metode ini sangat sesuai dengan kondisi Landriany yang tidak dapat menjalani operasi. Terapi minimal invasif dengan tingkat tertinggi untuk inaktivasi tumor tanpa operasi – Microwave Ablation, minim efek samping dan hasil yang efektif.
“Karena anestesi lokal, maka selama proses pengobatan saya dapat menjaga keseimbangan jiwa, tidak merasa sakit sama sekali. Proses Intervensi hanya membutuhkan waktu setengah jam, setelah sesi pengobatan pertama ukuran tumor saya mulai menyusut, kondisi psikologis saya juga jauh membaik, kerontokan rambut akibat pengobatan mulai perlahan-lahan pulih. Metode pengobatan seperti ini tidak ada di rumah sakit setempat, di sana hanya bisa operasi dan kemoterapi,” kata Landriany.
Saat ini, Landriany sudah menjalani 5 kali Intervensi dan 2 kali Microwave Ablation, ukuran tumornya kini telah menyusut sebanyak 6cm, kondisinya juga sangat stabil. Saat ditanyakan apa harapannya setelah keluar rumah sakit, Landriany menjawab, “Saya ingin benar-benar menyingkirkan kanker ini dan kembali hidup normal.” Optimis adalah obat terbaik dalam proses pengobatan pasien, kami juga yakin, harapan ini akan segera terwujud.
“Menerima dan menghadapi kanker dengan lapang dada”
Landriany berasal dari Indonesia (Surabaya), tahun ini berusia 50 tahun. Pada tahun 2014 ia didiagnosa kanker ovarium. Metode operasi dan kemoterapi membuat rambutnya rontok, dokter di Indonesia menyatakan “penyakitnya sudah terlalu parah” dan menyerah untuk melakukan operasi, namun sebagai umat kristiani saya menguatkan diri : “Jika tidak dapat diubah, maka saya hanya bisa menerima kanker, menjalani pengobatan dengan lapang dada dan optimis bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik.”
Mungkin Tuhan telah mendengar doanya, rambutnya yang rontok kini sudah mulai tumbuh kembali, kondisi penyakitnya sudah terkendali dengan baik, kondisi psikologisnya juga sangat baik, sama sekali tidak terlihat seperti seorang pasien kanker. Di depan kamera, pejuang kanker ini sangat tenang menceritakan pengalamannya melawan kanker.
Metode operasi + kemoterapi, pengobatan yang memberikan penderitaan yang tak tertahankan
Landriany mengungkapkan bahwa diagnosa kanker ovarium bukanlah tanpa peringatan. Pada tahun 1998, ia sudah merasa keluhan tidak normal, setiap bulan ia pasti merasakan nyeri saat haid. Setelah melakukan pemeriksaan di rumah sakit setempat, ia menjalani pengangkatan ovarium, keluhan nyerinya mulai membaik dan kondisi tubuhnya kembali normal. Ia berpikir semua masalah sudah selesai, namun ternyata ini baru permulaan.
Pada tahun 2014, ia mulai mengalami keluhan pendarahan dan nyeri parah di bagian ovarium, rumah sakit setempat mendiagnosanya kanker ovarium stadium 2 dengan ukuran tumor sekitar 6 cm. Berdasarkan rekomendasi dokter, ia pun menjalani tindakan operasi, tumor pada ovarium mulai terkendali namun tidak berlangsung lama. Pada tahun 2015, hasil pemeriksaan menunjukkan adanya tumor pada ususnya, dokter di rumah sakit setempat menyatakan kondisinya cukup serius dan menyerah mengoperasinya.
Kemudian mimpi buruk pun dimulai, ia menjalani 3 kali kemoterapi berturut-turut, tidak hanya kondisinya yang menjadi tidak terkontrol, setiap hari semakin memburuk, ukuran tumor yang tadinya 6 cm menyusut menjadi 11 cm, dari stadium 2 berubah menjadi stadium 4. Ia mengalami kesulitan buang air besar dan kecil, rasa sakit semakin intens. Efek samping dari kemoterapi juga semakin signifikan: sering mual dan muntah, awalnya rambutnya hitam lebat, namun mulai rontok secara bertahap.
Terapi minimal invasif membuat saya melihat harapan baru
Secara kebetulan Landriany menemukan informasi tentang Modern Cancer Hospital Guangzhou di koran, ia mulai mencari tahu via internet mengenai pengobatan kanker ovarium terapi minimal invasif, tanpa operasi dan kemoterapi atau pengobatan tradisional yang menyiksanya. Melalui kantor perwakilan di Surabaya, ia mengetahui kalau ternyata banyak pasien dengan kondisi yang lebih parah dari dirinya mendapatkan hasil pengobatan yang baik di sini.
Saat itu tanpa pikir panjang, pada 17 November 2015, Landriany memegang secercah harapan terakhir dan datang ke Modern Cancer Hospital Guangzhou.
Terapi minimal invasif Intervensi + Microwave Ablation meringankan pengobatan kanker ovarium
Berdasarkan kondisi Landriany, tim MDT Modern Cancer Hospital Guangzhou dengan cepat memutuskan opsi metode pengobatan minimal invasif: terapi intervensi + microwave ablation.
Dokter penanggung jawab Landriany menjelaskan bahwa proses Intervensi dilakukan tanpa operasi atau pembedahan yang meninggalkan bekas luka, dibutuhkan lubang kecil atau kateter yang memang sudah ada pada tubuh pasien yang hanya berukuran beberapa mm di permukaan kulit atau pembuluh darah. Dipandu dengan alat pemeriksaan pencitraan medis, dokter mengobati bagian lesi, metode pengobatan ini memiliki beberapa kelebihan seperti minim luka, bertarget, minim efek samping, serta hasil yang signifikan. Metode-metode ini sangat sesuai dengan kondisi Landriany yang tidak dapat menjalani operasi. Terapi minimal invasif dengan tingkat tertinggi untuk inaktivasi tumor tanpa operasi – Microwave Ablation, minim efek samping dan hasil yang efektif.
“Karena anestesi lokal, maka selama proses pengobatan saya dapat menjaga keseimbangan jiwa, tidak merasa sakit sama sekali. Proses Intervensi hanya membutuhkan waktu setengah jam, setelah sesi pengobatan pertama ukuran tumor saya mulai menyusut, kondisi psikologis saya juga jauh membaik, kerontokan rambut akibat pengobatan mulai perlahan-lahan pulih. Metode pengobatan seperti ini tidak ada di rumah sakit setempat, di sana hanya bisa operasi dan kemoterapi,” kata Landriany.
Saat ini, Landriany sudah menjalani 5 kali Intervensi dan 2 kali Microwave Ablation, ukuran tumornya kini telah menyusut sebanyak 6cm, kondisinya juga sangat stabil. Saat ditanyakan apa harapannya setelah keluar rumah sakit, Landriany menjawab, “Saya ingin benar-benar menyingkirkan kanker ini dan kembali hidup normal.” Optimis adalah obat terbaik dalam proses pengobatan pasien, kami juga yakin, harapan ini akan segera terwujud.